“Jilbab dan kerudung (Khimar) BEDA”

Standard

Oleh : Shinta Rini

             Sejauh mana seorang muslimah memahami makna dari kerudung dan jilbab, ini memerlukan proses pembelajaran untuk meyempurnakan pemahaman terhadap dua hal tersebut. Perintah (kewajiban) dari Allah SWT bagi seorang muslimah untuk menggunakan kerudung terdapat dalam dalam QS. An Nur;31, dikatakan, bahwa wanita muslimah dilarang menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa ditampakkannya. Dalam hal ini para ulama sepakat, bagian wanita yang boleh dilihat oleh laki-laki asing (bukan muhrimnya) hanya wajah dan telapak tangannya.

           Dan Allah SWT memerintahkan kepada wanita muslimah untuk mengulurkan kerudungnya (khimar) sampai ke dadanya. Artinya, perintah dari Allah SWT kepada wanita muslimah untuk menutup rambutnya, sehingga hanya terlihat wajahnya saja. Sehingga jelas syarat yang memenuhi syariat Islam dalam berkerdung yaitu mengulurkannya sampai ke dada.

A. Perbedaan Kerudung dan Jilbab

 

1. Kerudung/ kudung/ khimar ialah pakaian yang dipanjangkan dari kepala hingga menutupi kerah leher dan dada. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat An-Nuur ayat 31: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…”

 

2. Sedangkan jilbab ialah pakaian yang dijulurkan ke seluruh tubuh hingga mendekati tanah dan longgar sehingga tidak membentuk lekuk tubuh. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang..”

 

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa: Kerudung ialah penutup kepala hingga dada, sedangkan jilbab ialah penutup seluruh tubuh. Dan kedua jenis pakaian ini wajib digunakan oleh para wanita.

 

 

B. Batasan ujung jilbab wanita itu sampai ke bawah/ ke dua kaki. Bukan sampai dengan mata kaki.

 

 

Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.).

 

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini –yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal– diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata,

 

Rasulullah SAW telah bersabda :

 

“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).”

 

Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’(yakni dari separoh betis).

 

Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” (HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (Al-Albani, 2001 : 89)

 

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah –yaitu jilbab– telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.

 

Dari hadits di atas dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu:

 

Pertama, bahwa seorang wanita wajib menutup kedua telapak kakinya dengan pakaiannya.

 

Kedua, boleh hukumnya memanjangkan pakaian bagi seorang wanita dengan ukuran sebagaimana telah dijelaskan hadits di atas.

 

Dari mana diukurnya satu jengkal di mana seorang wanita memanjangkan pakaiannya?

 

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama satu jengkal itu diukur dari mana. Akan tetapi, pendapat yang kuat -insya Allah- satu jengkal adalah diukur dari mata kaki. Karena inilah Ummu Salamah berkata, “Jika demikian, kedua kakinya masih tersingkap,” lalu Rasulullah memberikan keringanan dengan satu hasta.

 

Para ulama telah bersepakat bolehnya seorang wanita memanjangkan pakaiannya di bawah mata kaki. Hal ini berbeda dengan kaum laki-laki di mana mereka mendapat ancaman keras bila memanjangkan pakaiannya di bawah mata kaki.

 

Sebagaimana kaum laki-laki, kaum wanita pun dilarang isbal. Akan tetapi ukuran isbal pakaian wanita berbeda dengan kaum laki-laki. Isbal-nya pakaian laki-laki adalah di bawah mata kaki. Sedangkan isbal-nya pakaian wanita adalah bila melebihi satu hasta atau dua jengkal.

 

Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits bahwa Rasulullah membatasi panjang pakaian wanita hanya boleh ditambah satu hasta atau dua jengkal, tidak boleh lebih.

 

C. Menyucikan ujung jilbab/gamis 

 

Dari ibu Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahawasanya beliau bertanya kepada Ummu Salamah –salah satu isteri Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,

 

إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ.

 

“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?”

 

Ummu Salamah berkata bahawa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

 

“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[1]

 

Sebahagian ulama menyatakan bahawa yang dimaksud najis dalam hadis di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad [2] dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung jilbab/gamis terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak boleh disucikan dengan tanah berikutnya, namun mesti dengan cara dicuci.

 

Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahawa najis yang dimaksud dalam hadis ini adalah najis yang sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritik. Ini kerana najis yang mengenai jilbab/gamis pada umumnya yang didapati ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemui kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kita perhatikan dalam kehidupan seharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadis tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.”[3]

 

Al-Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung jilbab/gamis terkena kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh solat dengan menggunakan pakaian tersebut sehingalah ia dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah.[4]

 

note :

[1] HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Shaikh Al-Albani dalam Sahih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahawa hadis ini sahih.

 

[2] Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai hadis Ummu Salamah “tanah berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, dia melalui tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian dia melalui tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H)

 

[3] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

 

[4] Idem

 

Wallahu’alam bish showab.

Leave a comment